Ditulis Oleh: Salsabilla (Mahasiswa fakultas tarbiyah dan keguruan UIN imam Bonjol Padang)
![]() |
| Banjir Sumatera 2025: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat |
Banjir yang terus menghantui Sumatera belakangan ini kerap diberi label sebagai “bencana alam” atau bahkan “cobaan dari Tuhan”. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan menyajikan narasi yang jauh berbeda. Banjir bukanlah musibah yang tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan akumulasi dari kerusakan ekosistem yang disengaja dan kebijakan yang mengutamakan kepentingan sempit daripada kelangsungan hidup alam dan masyarakat.
Hutan yang Hilang, Sungai yang Tercemar
Sumatera dulunya dikenal dengan hutan tropis yang lebat, sungai yang melimpah, dan keanekaragaman hayati yang kaya—di mana manusia dan satwa seperti gajah Sumatera serta harimau hidup berdampingan tanpa konflik besar. Namun, masuknya investasi yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, terutama dalam sektor perkebunan sawit, mengubah segalanya. Hutan diratakan secara ilegal, aliran sungai diblokir oleh kanal perusahaan, dan tanah yang tadinya mampu menampung air hujan kini menjadi lanskap botak.
Kasus Tesso Nilo menjadi contoh nyata. Sebagai hutan nasional dan benteng terakhir bagi gajah Sumatera, kawasan ini telah mengalami pembabatan luas dalam hitungan tahun. Ribuan hektar hutan hilang, namun publik baru menyadari setelah banjir melanda, gajah keluar ke jalan raya mencari makanan, dan bangkai satwa ditemukan membusuk di lokasi yang dulunya menjadi rumah mereka.
Gajah sebagai Korban Sistem yang Salah
![]() |
| Banjir Sumatera menelan banyak korban. Tak terkecuali binatang |
Gajah Sumatera sering diberi label “liar”, “berbahaya”, atau “hama perkebunan”. Padahal yang sebenarnya merusak adalah manusia yang dengan sengaja memberikan izin pembabatan hutan untuk kepentingan oligarki. Gajah tidak pernah meminta lahannya dirampas—mereka hanya ingin hidup, mencari makan, dan merawat keluarga, seperti halnya makhluk hidup lainnya.
Ketika gajah mati diracun, dijerat, atau dipenggal gadingnya, sering terdengar alasan bahwa mereka “masuk pemukiman”. Padahal pemukiman itu dibangun di atas lahan yang dulunya menjadi habitat mereka. Orang lokal bahkan dipaksa menjadi pekerja ilegal di perkebunan ilegal hanya untuk bertahan hidup, sementara mereka yang sesungguhnya bertanggung jawab—pejabat yang menandatangani izin—bisa berjalan dengan dada tegak tanpa rasa bersalah.
Sistem yang Menutupi Penjahat
Setelah banjir datang, seringkali kita melihat kepala daerah muncul dengan baju safari, naik perahu karet, mengambil foto, dan memberikan bantuan terbatas sambil menyatakan bahwa ini adalah “musibah yang harus diterima dengan sabar”. Padahal apa yang terjadi bukan musibah, melainkan “dosa struktural” dari kebijakan yang salah.
Korporasi yang mengklaim menerapkan “prinsip keberlanjutan” justru terus melakukan pembabatan hutan, sementara publik dibodohi dengan narasi tentang cuaca ekstrem atau pasrah religius. Sistem yang ada seolah dirancang untuk menyembunyikan pelaku utama, sehingga masalah dasar tidak pernah terselesaikan. Hutan tetap hilang, sawit ilegal tetap berkembang, dan gajah tetap mati—siklus yang berulang setiap tahun.
Ekonomi yang Mengorbankan Masa Depan
![]() |
| Jangan wariskan kepunahan satwa kepada anak cucu kita |
Argumen bahwa “ibu kota butuh sawit” atau “ekonomi harus jalan” seolah mengabaikan fakta bahwa ekonomi tidak bisa berdiri tanpa bumi yang sehat. Apa gunanya kemakmuran ekonomi jika anak cucu kita hanya bisa melihat gajah di buku pelajaran, atau jika banjir menjadi rutinitas seperti tanggal gajian?
Gajah bukan hanya sekadar satwa liar—mereka memiliki keluarga, ingatan yang kuat, dan bahkan berkabung ketika ada anggota kawanan yang meninggal. Setiap gajah yang mati bukan hanya kehilangan satu nyawa, melainkan juga kehilangan bagian dari budaya alam, ingatan sejarah, dan penanda kesehatan ekosistem. Banjir yang kita lihat hari ini adalah jeritan mereka yang dipaksa menjadi bencana alam padahal esensinya adalah bencana politik.
Panggilan untuk Sadar dan Berubah
![]() |
| Stop pembabatan hutan demi bumi yang hijau dan sejahtera |
Kita sering dituntut untuk sabar ketika bencana datang, ketika satwa langka punah, atau ketika lingkungan tercemar. Namun mengapa mereka yang membuat kebijakan tidak pernah dituntut untuk mengendalikan keserakahan atau dihukum karena kerusakan yang mereka sebabkan?
Banjir Sumatera bukanlah cobaan alam atau Tuhan. Tuhan telah memberikan akal untuk merawat bumi, bukan untuk menjual izin pembabatan hutan. Kita tidak perlu menjadi aktivis untuk menyadari bahwa negara kita sering memilih mengorbankan ekosistem demi kepentingan bisnis. Selama sistem yang melindungi pelaku kerusakan masih ada, selama hutan dianggap sebagai komoditas bukan sebagai paru-paru dunia, banjir Sumatera tidak akan pernah berhenti.
Waktu untuk berubah sudah tidak bisa ditunda lagi. Jika tidak, kita hanya akan menunggu bencana berikutnya dengan tangan terbuka, sementara rakyat dan alam terus menjadi korban dari rakusnya para penentu kebijakan.





Tidak ada komentar
Thanks udah mampir. Jangan lupa tinggalkan komentar ya. No SARA. Syukron Jazakallah..😊